KEJANG
DEMAM
Di
susun untuk memenuhi tugas mata ajar Keperawatan Anak
Pembimbing
: Wahyuningsih, S.Kep, Ns
AKADEMI
KEPERAWATAN WIDYA HUSADA SEMARANG
TAHUN
2014
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan atas
kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat , taufiq
dan hidayah-Nya kepada kita semua , sehingga dalam kesempatan ini kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah
Keperawata Anak yang berjudul: Asuhan
Keperawatan Pada Anak dengan Kejang Demam.
Maksud dan
tujuan kami menyusun
makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas
mata kuliah Keperawata Anak. Hal
ini di karenakan agar mahasiswa
mampu menjelaskan dan melakukan Asuhan Keperawatan Pada Anak dengan Kejang
Demam
Kami menyadari
bahwa dalam penyusunan makalah ini, masih jauh
dari sempurna dan
tidak lepas dari
kekurangan , karena kurangnya
pengetahuan dan referensi
yang kami dapatkan,
sehingga kami memerlukan
kritik dan saran yang
membangun untuk kesempurnaan penyusunan makalah berikutnya .
Kami berharap
semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat
pengetahuan bagi para pembaca umumnya dan penyusun khususnya .
Semarang
, Mei 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kejang
demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu (suhu rektal
lebih dari 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (diluar rongga
kepala). Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures (1980) kejang demam
ini biasanya terjadi bayi atau anak-anak antara umur 3 bulan dan 5 tahun yang
berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi
intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan
bayi yang berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk. Kejang demam harus
dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa
demam.
Faktor
resiko kejang demam yang penting adalah demam. Selain itu terdapat faktor
riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung, perkembangan
terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar
natrium rendah. Setelah kejang demam pertama kira kira 33% anak akan mengalami
satu kali rekurensi (kekambuhan), dan kira kira 9 % anak mengalami recurensi 3
kali atau lebih, resiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak
mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang,
riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi.
Hingga
kini belum diketahui dengan pasti penyebab kejang demam. Demam sering
disebabkan infeksi saluran pernafasan atas, radang telinga tengah, infeksi
saluran cerna dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu
yang tinggi. Kadang kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan
kejang.
Kejang
demam merupakan salah satu kelainan saraf yang paling sering dijumpai pada bayi
dan anak. Sekitar 2,2% hingga 5% anak pernah mengalami kejang demam sebelum
mereka mencapai usia 5 tahun. Sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat
mengenai akibat yang ditimbulkan oleh penyakit ini namun pendapat yang dominan
saat ini kejang pada kejang demam tidak menyebabkan akibat buruk atau kerusakan
pada otak namun kita tetap berupaya untuk menghentikan kejang secepat mungkin.
Dan bagi beberapa orang tua, kejang demam pada anak
sering menimbulkan fobia tersendiri.Keyakinan
untuk segera menurunkan panas ketika anak demam sudah melekat erat dalam benak
orang tua. Demam diidentikkan dengan penyakit, sehingga saat demam berhasil
diturunkan, orangtua merasa lega karena menganggap penyakit akan segera pergi
bersama turunnya panas badan.
B. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan
makalah ini antara lain:
1. Mahasiswa
mampu menjelaskan definisi kejang demam
- Mahasiswa mampu menjelaskan
etiologi kejang demam
- Mahasiswa mampu menjelaskan
tanda dan gejala kejang demam
- Mahasiswa mampu menjelaskan
diagnosa banding kejang demam
- Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi kejang
demam
- Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi kejang
demam
- Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan
diagnostik kejang demam
- Mahasiswa mampu menjelaskan
prognosis kejang demam
- Mahasiswa mampu menjelaskan
penanganan kejang demam
- Mahasiswa mampu menjelaskan
asuhan keperawatan kejang demam
BAB II
KONSEP TEORI
A.
Pengertian
kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi. Kejang demam
adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu 380C. Yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium, biasanya terjadi pada usia 3 bulan
– 5 btahun. Sedangkan usia <4 minggu dan pernah kejang tanpa demam tidak
termasuk dalam katagori ini. (Sujono Riyadi dan Suharsono, 2010)
Kejang deman tidak selalu seorang anak harus mengalami peningkatan
suhu seperti ini diatas, kadang dengan suhu yang tidak terlalu tinggi anak
sudah kejang. (Sujono Riyadi dan Suharsono, 2010)
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai
pada anak, terutama pada golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3
%daripada anak yang berumur dibawah 5 tahun pernah menderitanya (Millichap,
1968 dalam ( Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 1997).
Kejang demam adalah bangkitan yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal lebih dari 380C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Menurut Consensus Statement on Febrile Seizeures (1980), kejang
demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 3
bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan
demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab
tertentu anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4
minggu tidak termasuk. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang
ditandai dengan kejang berulang tanpa demam. (Arif Mansjoer dkk 2000).
B.
Etiologi
1.
Faktor – faktor
perinatal.
2.
Malformasi otak
congenital.
3.
Faktor
genetika.
4.
Penyakit
infeksi (ensefalitis, meningitis).
5.
Demam.
6.
Gangguan
metabolisme.
7.
Trauma.
8.
Neoplasma,
toksin.
9.
Gangguan
sirkulasi.
10. Penyakit degeneratif susunan saraf.
(Sujono Riyadi dan Suharsono, 2010)
C.
Patofisiologi
Untuk
mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu energi
yang didapati dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses
itu adalah oksidasi dimana oksigen
disediakan dengan perantaraan fungsi paru – paru dan diteruskan ke otak melalui
sistem kardiovaskuler.
Jika sumber
energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan
air.
Sel dikelilingi
oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah limpoid dan
permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat
dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion
Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion clorida (CI-). Akibatnya
konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na + rendah, sedangkan
diluar sel neuron terdapat keadaan
sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel,
maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel
neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan
bantuan enzim Na – KATPase yang terdapat
pada permukaan sel.
Keseimbangan
potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya:
1.
Perubahan
konsentrasi ion diruang ekstraseluler.
2.
Rangsangan yang
datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari
sekitarnya.
3.
Perubahan patofisiologi
dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan
demam kenaikan suhu 10C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10 % - 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak
berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh, dibandingkan
dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu
dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu
yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Netrium melalui membran
tadi. Dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun ke membran sel
tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah
kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari
tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan
suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi
pada suhu 380C sedangkan dengan anak dengan ambang kejang yang
tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 400C atau lebih. Dari
kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering
terjadi pada ambang yang rendah sehingga dalam menanggulanginya perlu
diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.
Kejang demam
yang berkangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan
gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit)
biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi
untuk kontraksi otot skelet yang ahirnya terjadi hipoksemia, hipotensi arterial
disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh semakin meningkat
disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme
otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga
terjadinya kerusakan neuron otot selama berlangsungnya kejang lama. Faktor
terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga
meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otat yang mengakibatkan
kerusakan sel neuron otak.
Kerusakan pada
daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang
berlangsung lama dapat menjadi “matang” dikemudian hari, sehingga terjadin
serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat
menyebabkan kelainan anatomis diotak hingga terjadi epilepsi.
( Staf Pengajar
Ilmu kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1997)
D.
Pathways Keperawatan
E.
Manifestasi Klinik
Umumnya demam kejang berlangsung singkat, berupa serangan kejang
klonik atau tonik klonik bilateral. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi
seperti mata terbalik keatas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan
sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan
fokal. (Arif Mansjoer dkk 2000).
Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang
dari 8 % berlangsung lebih dari 15 menit. Seringkali kejang berhenti sendiri.
Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi
setelah beberapa detik atau menit, anak terbangun dan sadar kembali tanpa
defisit neurologis. Kejang dapat diikuti hemiparases sementara (hemiparases
Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral
yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis menetap. Bangkitan kejang yang
berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. (Arif
Mansjoer dkk 2000).
Bila menghadapi penderita dengan kejang demam, pertanyaan yang
sering timbul ialah dapatkah diramalkan dari sifat atau gejala yang mana
kemungkinan lebih besar untuk menderita epilepsi? ( Staf Pengajar Ilmu
kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1997)
Untuk ini Livington (1954, 1963) membuat kriteria dan membagi kejang
demam atas 2 golongan yaitu:
1.
Kejang demam
sederhana ( ‘simple febrile convulsion)
2.
Epilepsi yang
diprofokasi oleh demam (‘epilepsy triggered off by fever’).
Di sup bagian saraf anak Bagian IKA FKUI – RSCM jakarta, kriteria
Livingston tersebut setelah dimodifikasi dipakai sebagai pedoman untuk mmembuat
diagnosis kejang demam sederhana ialah:
1.
Umur anak
ketika kejang antara 6 bulan dan 4 bulan.
2.
Kejang
berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit,
3.
Kejang bersifat
umum.
4.
Kejang timbul
dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5.
Pemeriksaan
saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
6.
Pemeriksaan EEG
yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukan kelainan.
7.
Frekuwnsi
bangkitan kejang didalam 1 thun tidak melebihi 4 kali.
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh
kriteria modifikasi Livingston di atas digolongkan pada epilepsi yang
diprovokasi oleh demam. Kejang kelompok kedua ini mempunyai suatu dasar
kelainan yang menyebabkan timbulnya kejang, sedangkan demam hanya merupakan
faktor pencetus saja. ( Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 1997)
F.
Pemeriksaan Penunjang
pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada
bayi – bayi kecil sering kali gejala meningitis tidak jelas sehingga pungsi
lumbal hharus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan
untuk yang berumur kurang dari 18 bulan. Elektroensefalografi (EEG) ternyata
kurang mempunyai nilai prognostik. EEG abnormal tidak dapat digunakan untuk
menduga adanya kemunkinan terjadinya epilepsi atau kejang demam berulang
dikemudian hari. Saat ini pemeriksaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang
demam sederhana.pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan
untuk mengevaluasi sumber infeksi. (Arif Mansjoer dkk 2000).
Tergantung sarana yang
tersedia dimana pasien dirawat, pemeriksaannya meliputi :
1.
Darah
Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi
kejang (N < 200 mq/dl)
BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan
merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
Elektrolit : K, Na
Ketidakseimbangan
elektrolit merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00
meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144
meq/dl )
2.
Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda
infeksi, pendarahan penyebab kejang.
3.
Skull Ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak
ruang dan adanya lesi
4.
Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan
UUB masih terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk
transiluminasi kepala.
5.
EEG : Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak
melalui tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil
biasanya normal.
6.
CT Scan : Untuk mengidentifikasi lesi cerebral infaik
hematoma, cerebral oedem, trauma, abses, tumor dengan atau tanpa kontras.
G.
Komplikasi
H.
Pengkajian Fokus
Pengkajian adalah pendekatan sistemik untuk mengumpulkan data dan
menganalisa, sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien tersebut.
(Santosa. NI, 1989, 154)
Langkah-langkah dalam pengkajian meliputi pengumpulan data,
analisa dan sintesa data serta perumusan diagnosa keperawatan. Pengumpulan data
akan menentukan kebutuhan dan masalah kesehatan atau keperawatan yang meliputi
kebutuhan fisik, psikososial dan lingkungan pasien. Sumber data didapatkan dari
pasien, keluarga, teman, team kesehatan lain, catatan pasien dan hasil
pemeriksaan laboratorium. Metode pengumpulan data melalui observasi (yaitu
dengan cara inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi), wawancara (yaitu berupa
percakapan untuk memperoleh data yang diperlukan), catatan (berupa catatan
klinik, dokumen yang baru maupun yang lama), literatur (mencakup semua materi,
buku-buku, masalah dan surat kabar).
I.
Diagnosa Keperawatan
1.
Hipertermi
berhubungan dengan proses penyakit. ( Judith M. Wilkinson dan Nancy R. Ahern.
2011).
2.
Resiko cedera
berhubungan dengan infeksi mokroorganisme. ( Judith M. Wilkinson dan Nancy R.
Ahern. 2011)
3.
Resiko kekurangan
volume cairan berhubungan dengan intake yang kurang. ( Judith M. Wilkinson dan
Nancy R. Ahern. 2011)
J.
Fokus Intervensi
1.
Hipertermi
berhubungan dengan proses penyakit.
KH: suhu tubuh dalam rentang
normal
Nadi dan RR
dalam rentang normal
Tidak ada
perubahan warna kulit dan tidak ada pusing
Intervensi:
1). Terapi demam
R: penatalaksanaan pasien hiperpireksia akibat faktor selain
lingkungan.
2). Regulasi Suhu
R: mencapai atau
mempertahankan suhu tubuh dalam rentang normal.
3). Monitor TTV
R: untuk mengetahui TD,
nadi, dan RR.
4). Kompres pada lipat paha dan aksila
R: untuk menurunkan suhu
tubuh
5). Kolaborasikan pemberian antipiretik
R: untuk mengurangu hipertermi dengan
farmakologis.
2.
Resiko cedera
berhubungan dengan infeksi mokroorganisme.
KH: klien terbebas dari
cidera
Intervensi:
1). Sediakan lingkungan yang aman
R: untuk menjaga keamanan
lingkungan bagi pasien.
2). Identifikasi kebutuhan keamanan klien
R: untuk memenuhi standar
menjaga keamanan klien.
3). Memasang side rail tempat tidur
R: mencegah klaen jatuh
dari tempat tidur
4). Menganjurkan keluarga klien untuk menemani
R: untuk membantu
aktivitas klien.
5). Membatasi pengunjung
R: untuk menjaga keamanan
lingkungan klien dari kebisingan
3.
Resiko
kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang kurang
KH: mempertahankan urin output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine
normal, HT normal.
TD, Nadi, suhu tubuh dalam batas normal.
Intervensi:
1). Memonitor TTV
R untuk mengetahui keadaan
umum
2). Berikan cairan
R: mencegah Hidrasi
3). Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori
harian
R untuk mencegah
kekurangan cairan dan malnutrisi
4). Monitor status Hidrasi
R : untuk mengetahui
status hidrasi klien
5). Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul memburuk
R untuk mengantisipasi
memburuknya keadaan klien.
K.
Penatalaksanaan
Dalam
penaggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu :
1.
Pemberantasan kejang secepat mungkin
Pemberantasan kejang di Sub
bagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI sebagai berikut :
Apabila seorang anak datang
dalam keadaan kejang, maka :
1.
Segera diberikan diazepam intravena ® dosis rata-rata 0,3 mg/kg
Atau
diazepam
rectal dosis £ 10 kg : 5 mg

tunggu 15 menit

kejang berhenti
berikan dosis awal fenobarbital
dosis : neonates: 30 mg I.M
1 bulan – 1 tahun : 50 mg I.M
> 1 tahun : 75 mg I.M
2.
Bila diazepam tidak tersedia, langsung memakai fenobarbital dengan
dosis awal dan selanjutnya diteruskan dengan dosis rumat.
2.
Pengobatan penunjang
Pengobatan penunjang saat
serangan kejang adalah :
1. Semua pakaian ketat dibuka
2. Posisi kepala sebaiknya miring
untuk mencegah aspirasi isi lambung
3. Usahakan agar jalan napas
bebasuntuk menjamin kebutuhan oksigen
4. Pengisapan lendir harus
dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen
3.
Pengobatan Rumat
Fenobarbital
dosis maintenance : 8-10 mg/kg BB dibagi 2 dosis pada hari pertama, kedua
diteruskan 4-5 mg/kg BB dibagi 2 dosis pada hari berikutnya.
4.
Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab
kejang demam adalah infeksi respiratorius bagian atas dan astitis media akut.
Pemberian antibiotik yang adekuat untuk mengobati penyakit tersebut. Pada
pasien yang diketahui kejang lama pemeriksaan lebih intensif seperti fungsi
lumbal, kalium, magnesium, kalsium, natrium dan faal hati. Bila perlu rontgen
foto tengkorak, EEG, ensefalografi, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer. Arif dkk. 2000. Kapita
Selekta Kedokteran Ed.3 Jil. 2. Media Aesculapus. Jakarta
Riyadi, Sujono dan Suharsono. 2010.
Asuhan Keperawatan Pada Anak Sakit. Gosyen Publishing. Yogyakarta.
Santosa NI, 1989,
Perawatan I (Dasar-Dasar Keperawatan), Depkes RI, Jakarta.
Staf Pengajar Ilmu kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1997. Buku Kuliah 2 Ilmu
Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta
Wilkinson .Judith M. dan Nancy R.
Ahern. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan diagnosa NANDA, Intervensi NIC,
Kriteria Hasil NOC. Ed. 9. EGC. Jakarta.
.
.
Komentar
Posting Komentar