laporan pendahuluan hiperbilirubin

LAPORAN PENDAHULUAN 
HYPERBILIRUBIN
DI RUANG PERISTI RSI. SULTAN AGUNG SEMARANG






Di Susun oleh:
Kiky Dwi Astuti
690. 150. 271


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2016

HYPERBILIRUBIN
KONSEP DASAR
DEFINISI
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan(Mansjoer,2008). Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga disebut ‘Excess Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram Bhutani (Etika et al,2006).
Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatarum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih(Sukadi,2008).
Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >2mg/dl(>17ฮผmol/L) sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin >5mg/dl(86ฮผmol/L)(Etika et al,2006).
Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewaranaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum total.

KLASIFIKASI
Ikterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga serta tidak mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai potensi menjadi karena ikterus. Adapun tanda - tanda sebagai berikut :
Timbul pada hari kedua dan ketiga.
Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan.
Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari.
Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg %.
Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.

Ikterus patologi adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
Bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda- tandanya sebagai berikut :
Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama
Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5% pada neonatus kurang bulan.
Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg % per hari.
Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
(Arief ZR, 2009. hlm. 29)

ETIOLOGI
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat dibagi:
Produksi yang berlebihan.
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (Sindrom Criggler - Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
(Hassan et al.2005)

PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar(85 - 90%) terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil(10- 15%) dari senyawa lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel - sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air(bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati ,hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat(bilirubin terkonjugasi, direk) (Sacher,2004).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus ,bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin.(Sacher, 2004).
Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul pada dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl(Cloherty et al, 2008).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu(sekitar 2 - 2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice (Murray et al,2009)

MANIFESTASI KLINIS
Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira- kira 6mg/dl (Mansjoer at al, 2007). Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna kuning - kehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat (Nelson, 2007)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa hari mati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar (Etika et al,2006).
Pemeriksaan serum bilirubin (direk dan indirek) harus dilakukan pada Neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi- bayi yang tergolong resiko tingggi terserang hiperbilirubinemia berat. Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan‘Coombs test’, darah lengkap dan hapusan darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin direk.
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4 - 24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga harus diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar atau transfusi tukar (Etika et al, 2006)

PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut:
Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini kerjanya lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan ikterus yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai lagi.
Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin (misalnya menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau (menambahkan albumin untuk memperbaiki transportasi bilirubin). Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun sesudah terapi tukar.
Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini.
Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.
Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar(Mansjoer et al, 2007).
Pada umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:
1) Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤20mg%
2) Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3 - 1mg%/jam
3) Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
4) Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat <14mg% dan uji Coombs direct
Positif (Hassan et al, 2005)

KONSEP KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Aktivitas/ istirahat: letargi, malas
Sirkulasi : mungkin pucat, menandakan anemia.
Eliminasi : Bising usus hipoaktif, vasase meconium mungkin lambat, faeces mungkin lunak atau coklat kehijauan selama pengeluaran billirubin. urine berwarna gelap.
Makanan cairan : Riwayat pelambatan/ makanan oral buruk.
Palpasi abdomen : dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar.
Neurosensori ;hepalohaematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran. Oedema umum, hepatosplenomegali atau hidrops fetalis, mungkin ada dengan inkompathabilitas kehilangan refleks moro, mungkin terlihat.
Opistotonus, dengan kekakuan lengkung punggung, menangis lirih, aktifitas kejang. Pernapasan : krekels "oedema fleura”.
Keamanan
Seksualitas

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya air (IWL) tanpa disadari akibat dari fototerapi dan kelemahan menyusu.
Resiko terjadi komplikasi kernikterus b.d peningkatan kadar bilirubin.
Gangguan rasa nyaman dan aman berhubungan dengan akibat pengobatan/ terapi  sinar.

RENCANA TINDAKAN
Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya air  (IWL) tanpa disadari akibat dari fototerapi dan kelemahan menyusu.
Tujuan:
Memenuhi kebutuhan cairan dan nutrisi .
Intervensi:
Pertahankan intake: beri minum sesuai kebutuhan karena bayi malas minum  berikan berulang-ulang, jika tidak mau menghisap dapat diberikan menggunakan sendok atau sonde.
Berikan terapi infus sesuai program bila indikasi: meningkatnya temperatur, meningkatnya konsentrasi urin, dan cairan hilang berlebihan.
Perhatikan frekuensi BAB, mungkin susu tidak cocok (jika bukan ASI).
Kaji adanya dehidrasi : membran mukosa, ubun-ubun, turgor kulit, mata.
Monitor suhu tiap 2 jam.
Resiko terjadi komplikasi kernikterus b.d peningkatan kadar bilirubin.
Tujuan: Mengenal gejala dini mencegah meningkatnya ikterus.
Intervensi:
Jika bayi sudah terlihat mulai kuning, jemur pada matahari pagi "sekitar jam 7- 8  selama 15- 30 menit. Periksa darah untuk bilirubin, jika hasilnya masih dibawah 7 mg%  ulang keesokan harinya.
Berikan minum banyak.
Perhatikan hasil darah bilirubin
Gangguan rasa nyaman dan aman berhubungan dengan akibat pengobatan/ terapi sinar.
Tujuan: Untuk memenuhi kebutuhan psikologik, dengan memangku bayi setiap memberikan minum dan mengajak berkomunikasi secara verbal.
Intervensi:
Mengusahakan agar bayi tidak kepanasan atau kedinginan
Memelihara kebersihan tempat tidur bayi dan lingkungannya.
Mencegah terjadinya infeksi (memperhatikan cara bekerja aseptik)












DAFTAR PUSTAKA
Ngastiyah. 2005.Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Mansjoer, AriF. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta. Medika Aeseulupius
Etika R, Harianto A, Indarso J, F Damanik SM. 2006. Hiperbilirubinemia pada neonatus continuing education ilmu kesehatan anak
Hassan, R. 2005. Inkompatibilitas ABO dan ikterus pada bayi baru lahir. Jakarta : percetakan infomedika.
Sacher, Ronald, A., Richard A., MCP herson. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan  Laborotorium. 11th ed. Editor bahasa indonesia L Hartonto, Huriawati. Jakarta: EGC  Cloherty, J. P, Eichenwald, E. C , Stark A. R., 2008.Neonatal Hyperbilirubinemia in  manual of neonatal Care philadelphia: Lippincort Williams and Wilkin
Murray, R.K., et al. 2009. Edisi Bahasa Indonesia Biokimia Harper. 27th edition. Alih bahasa pendit, Brahm U, Jakarta : EGC
Sartono, Erwin, et al. 2005.Pedoman sianosis dan terapi Lab UPF Ilmu Kesehatan Anak. Ikterus neonatorum, Hyperbilirubinemia neonatorum. Surabaya: RSUD Dr. Soetomo.

Komentar