TONTON ANAK SMP CIUMAN
DAFTAR
ISI
DAFTER GAMBAR
DAFTAR TABLE
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji syukur Penulis panjatkan
kehadirar Allah SWT karena hanya dengan limpahan rahmat, taufik dan
hidayah-Nyalah Penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam
semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan
pengikut-pengikutnya hingga akhir zaman.
Alhamdulillah kami dapat membuat
makalah presentasi PKL Kebutuhan Dasar
Manusia di RSUD Sunan Kalijaga Demak yang sederhana ini. Dengan tujuan memenuhi
tugas dari pembimbing kami yaitu Ibu Ns. Wahyuningsih, S. Kep selaku dosen mata
kuliah Kebutuhan Dasar Manusia II di STIKES WIDYA HUSADA SEMARANG dan sebagai
bahan pembelajaran kami. Penyusunan makalah ini dibuat Penulis dalam rangka
memenuhi tugas Kebutuhan Dasar Manusia .
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini. Namun, Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
Penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Wassalamualaikum
Wr.Wb.
Semarang, 15
September 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kusta termasuk
penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal
sejak 1400 tahun sebelum masehi. Kata kusta disebut dalam kitab injil,
terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath yang sebenarnya mencakup beberpa
penyakit kulit lainya. Ternyata bahwa berbagai diskripsi mengenai penyakit ini
sangat kabur, apabila dibandingkan dengan kusta yang kita kenal sekarang. (Kosasih
dan Sri Linuwih, 2010. )
Nama lain kusta
adalah ’the great imitor’[pemalsu yang ulung]karena manifestasi penyakitnya menyerupai
penyakit kulit atau penyakit saraf lain, misalnya penyakit jamur.
Dalam target global WHO pada eradikasi kusta tahun [EKT] 2000 diharapkan
prevalensi penyakit kusta kurang dari 1 per 10.000 penduduk.
(Widoyono.
2011)
B.
Tujuan
1.
Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan
asuhan keperawatan pada pasien dengan Kusta
2.
Tujuan Khusus
1.
Mahasiswa
dapat menjelaskan pengertian Kusta
2.
Mahasiswa
dapat menjelaskan dan mengetahui Etiologi
3.
Mahasiswa
dapat menjelaskan dan mengetahui Patofisiologi
4.
Mahasiswa
dapat menjelaskan dan mengetahui Pathways Keperawatan Pada Kusta
5.
Mahasiswa
dapat menjelaskan dan mengetahui Manifestasi Klinik
BAB II
KONSEP TEORI
A.
Pengertian
Kusta merupakan
penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang
bersifat intraselular obligat. (Kosasih dan Sri Linuwih 2010).
Saraf parifer sebagai afinitas pertama, lalu
kulit dan ukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain
kecuali susunan saraf pusat. (Amin dan Hardhi
2013).
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih
merupakan Masalah yang sangat kompleks.masalah yang ada bukan saja dari segi
medisnya ,tetapi juga masalah sosial ,ekonomi,budaya ,serta keamanan dan
ketahanan nasional . (Widoyono. 2011).
Kusta (lepra
atau morbus Hansen) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi mycobacterium
leprae (M. Leprae). (Mansjoer, Arif. Dkk. 2000)
B.
Etiologi
Kuman penyebab
adalah Myicobacterium leprae yang
ditemukan oleh G.A. HANSEN pada tahun 1874 di Nerwegia, yang sampe sekarang
belum juga dapat dibiakan dalam media artifisial. M. Leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3 – 8 Β΅m x 0,5
Β΅m, tahan asam dan alkohol serta positif-Gram. (Kosasih dan Sri Linuwih
2010. )
Kusta tampil
dalam dua jenis bentuk klinis utama, yaitu kusta bentuk kering atau
tuberkuloid, dan kusta bentuk basah, disebut juga kusta lepromatosa. Bentuk
ketiga yaitu bentuk peralihan (borederline). (Amin
dan Hardhi 2013).
1.
Kusta bentuk
kering : tidak mnular, kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang
logam atau lebih besar, sering timbul dipipi, punggung, pantat, paha, atau
lengan. Bercak tampak kering, kulit kehilangan daya rasa sama sekali.
2.
Kusta bentuk
basah : bentuk menular karena kumamnya banyak terdapat diselaput lendir hidung,
kulit dan organ tubuh lainnya, dapat berupa bercak kemerahan, kecil – kecil
tersebar diseluruh tubuh atau berupa penebalan kulit yang luas sebagai
infiltrate yang tampak mengkilap dan berminyak, dapat berupa benjolan merah
sebesar biji jagung yang tersebar dibadan, muka dan daun telingga. Disertai
rontoknya alis mata, menebalnya daun telingga.
3.
Kusta tipe
peralihan : merupakan peralihan antara kedua ttipe utama. Pengobatan tipe ini
dimaksukkan kedalam jenis kusta basah. (Amin dan Hardhi, 2013)
C.
Patofisiologi
M. Leprae adalah organisme tahan
asam intrasel yang sangat sulit tumbuh dalam biakan, tetapi dapat ditumbuhkan
dalam almadilo (trenggileng), kuman ini tumbuh lebih lambat dari pada
mikobakterium lain dan tumbuh paling subur pada suhu 320C sampai 340C,
yakni suhu kulit manusia dan suhu tubuh inti armadilo, seperti M. Tuberkulosis
M. Leprae tidak mengeluarkan toksin, dan virulensinya didasarkan pada sifat
dinding selnya. Dinding selnya cukup mirip dengan dinding M. Tuberkulosis
sehingga imunisasi dengan basil Calnette – guerin sedikit banyak memberi
perlindungan terhadap infeksi M. Leprae. Imunitas seluler tercermin oleh reaksi
hipersensitivitas tipe lambat terhadap penyuntikan ekstrak bakteri yang disebut
lepromin kedalam dermis.
Pada sebagian kasus, terbentuk
antibodi terhadap respon antigen M. Leprae. Antibodi ini biasanya tidak
bersifat protektif, tetapi dapat membentuk kompleks imun dengan gen antigen bebas yang dapat
menyebabkan eritema nodosem, vaskulitis dan glomerulonefritis. (Robbins dan
Cotran. 2009).
Kusta
tuberkuloid berawal dari lesi lokal yang mula – mula datar dan merah, tetapi
kemudian membesar dan membentuk ireguler disertai indurasi, peninggian, tepi
hiperpigmentasi dan bagian tengah yang pucat dan cekung (penyembuhan
disentral). Kelainan saraf mendominasi gambaran kusta tuberkuloid. Saraf
terbungkus oleh reaksi peradangan granulomatosa dan, jika cukup kecil (misalnya
cabang perifer), akan mengalami kerusakan. Degenerasi saraf menyebabkan
anastesi kulit serta atrofi kulit dan
otot menyebabkan pasien mudah mengalami trauma di bagian yang terkena, disertai
kulit pembentukan ulkus kulit indolen. Dapat terjadi kontraktur, paralisis dan
autoamputasi jari tangan atau kaki. Kelainan saraf wajah dapat menyebabkan
paralisis kelopak mata, disertai keratitis dan ulkus kornea. Pada pemeriksaan
mikroskopik, semua lesi memperlihatkan lesi granulotoma mirip dengan lesi yang
ditemukan pada tuberkulosis, dan basil hampir tidak pernah ditemukan. Adanya granuloma
dan ketiadaan bakteri mencerminkan imunitas sel T yang kuat. Karena kusta
memperlihatkan perjalanan penyakit yang sangat lambat, hingga berpuluh – puluh
tahun, sebagian besar pasien meninggal bersama kusta dan bukan disebabkan
olehnya.
Kusta lepramatosa
mengenai kulit, saraf perifer, kamera anterior mata, saluran napas atas (hingga
laring), testis, tangan dan kaki. Organ vital dan susunan saraf pusat jarang
terkena, mungkin karena suhu inti tubuh terlalu tinggi untuk tumbuhnya
M.leprae. lesi lepramatosa mengandung agregat magrofat penuh lemak (sel kusta),
yang sering terisi oleh masa basil tahan asam. Kegagalan menahan infeksi
membentuk granuloma memcerminkan rendahnya respon TH1. Terbentuk
lesi makuler, papular, noduler diwajah, telingga, pergelangan tangan, siku dan
lutut. Seiring dengan perkembangan penyakit, lesi nodular menyatu untuk
menimbulkan fasies leonina (“muka singa”) yang khas.sebagian besar lesi kulit
hipoestetik atau anestetik. Lesi dihidung dapat menyebabkan peradangan persisten
dan pembentukan duh yang penuh basil. Saraf perifer, terutama nervus ulnaris
dan pereneus dibagian yang dekat kulit, diserang mikobakteri disertai reaksi
peradangan minimal. Hilangnya sensibilitas dan kelainan – kelainan trofik
ditangan dan kaki mengikuti lesi saraf. Kelenjar limfe memperlihatkan agregat
magrofag berbusa didaerah parakorteks (sel T), disertai pembesaran sentrum
germinativum, pada penyakit tahap lanjut, agregat magrofag juga terbentuk di
pulpa merah limpa dan hati. Testis biasanya banyak mengandung basil, disertai dektruksi tubulus
seminiferus dan sterilitas. (Robbins dan Cotran. 2009).
D. Pathways
Keperawatan
Bertempat di sel scwan
|
Microbacterium lepra masuk dalam tubuh
|
Kusta
|
Memproduksi lesi
|
Syaraf perifer
|
Kamera anterior mata
|
Agregat makrofag penuh lemak
|
Meluas ireguler disertai indurasi pada kulit
|
Penurunan sensitivitas
|
Paralisis kelopak mata
|
Saluran nafas atas
|
Produksi lesi sampai ke laring
|
Makrofag endoneuron dan preineuron
|
Berkembang biak di sel scwan
|
Keratitis dan ulkus kornea
|
G3 jalan nafas
|
Intoleransi aktivitas
|
Membentuk granuloma
|
Pada wajah,telinga,tangan,siku
|
Hiperfigmentasi,pucat,cekung
|
G3 intergitas kulit
|
G3 konsep diri (HDR)
|
Degenerasi syaraf
|
Atrofi kulit dan otot
|
Nyeri
|
G3 persepsi sensori penglihatan
|
(Robbins dan
Cotran. 2009).
E.
Manifestasi Klinik
Diagnosa
penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis,
dan serologis.
Diantara
ketiganya, diagnosis secara klinislah yang paling terpenting dan paling
sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15 – 30 menit,
sedangkan histopatologik 10 – 14 hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes
lepromin (mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat
diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat
menetapkan terapi yang sesuai. Bila kuman M. Leprae
untuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan
kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas
seluler (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid,
sebaliknya SIS rendah memberikan gamabaran lepromatosa.
Tipe I
(indeterminate ) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid
polar, yaikni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil, jadi berarti tidak
mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni
lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah
lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara
tuberkuloid dan lepramatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50%
tuberkuloid dan 50% lepromatosa. Bi dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya,
sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe – tipe campuran ini
adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik kearah TT maupun
kearah LL. Multibasiler berarti mengandung banyak kuman yaitu tipe LL,BL, dan
BB. Sadangkan pausibasiler berarti mengandung sedikit kuman, yakni tipe TT, BT,
dan I.
F.
Pemeriksaan Penunjang
1.
Pemeriksaan
Bakterioskopik (Kerokan Jaringan Kulit)
Pemeriksaan
bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakan diagnosis dan pengamatan
pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan
mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA),
antara lain dengan ZIEHL-NEELSEN. Bakteriokopik negatif pada seorang penderita,
bukan berarti orang tersebut tidak mengandung kuman M. Leprae.
Pertama – tama
harus ditentukan lesi dikulit yang diiharapkan paling padat oleh kuman, setelah
terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Mengenai jumlah
lesi yang ditentukan oleh tujuanya, yaitu untuk riset dapat diperiksa 10 tempat
dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat, yaitu kedua cuping telinga
bagian bawah dan 2 – 4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling
eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga tersebut
tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh karena atas dasar
pengalaman tempat tersebut diharapkan mengandung kuman paling banyak. Perlu
diingat bahwa setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna pengambilan
ditempat yang sama pada pengamatan mengobatan
untuk diibandigkan hasilnya.
2.
Pemeriksaan
Histopatologik
Magrofag dalam
jaringan yang berasal dari monosit didalam darah ada yang mempunyai nama
khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, dan yang dari kulit disebut
histiosit. Salah satu tugas magrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada
kuman (M. Leprae) masuk, akibatnya akan bergantung pada sistem imunitas seluler
(SIS) orang itu. Apabila SIS- nya tinggi. Magrofag akan mampu menfagosit M.
Leprae. Dtangnya histiosit ketempat kuman disebabkan karena proses imunologik
dengan adanaya faktor kemotaktik. Kalau dattangnya berlebihan dan tidak ada
lagi yang harus difagosit, magrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid
yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia
langhans. Adanya masa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang
disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada
penderita dengan SIS rendah atau runtuh, histiosid tidak dapat menghancurkan M.
Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan
disebut sel virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut
penyebarluasan.
Granuloma
adalah akumulasi magrofag dan atau derivat – derivatnya. Gammbaran
histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih
nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan non – solid.. pada tipe
lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepuidermal clear zone), yaitu
suatu daerah langsung dibawah epidermis yang jaringanya tidak patologik.
Didapati sel Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe borderline, terdapat
campuran unsur – unsur tersebut.
3. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan
serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M. Leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik
terhadap M. Leprae, yaitu antibodi antiphenolic glycolipid – 1 (PGL – 1)
dan antibodi 16 kD serta 35 kD.
Sedangkan antibod yang tidak spesifik antara lain antibodi anti –
lipoarabinomanan (LAM), yan juga dihasiilkan oleh kuman M.tuberculosis.
Kegunaan
pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan,
karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping itu dapat membantu
menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit, misalnya pada
narakontak serumah. Macam – macam pemeriksaan serologik kusta ialah :
-
Uji MPLA ( mycobacterium
leprae Particle Aglunation)
-
Uji ELISA ( Emzyme
Linked Immuno – sorbent Assay).
-
ML dipstick
test (mycobacterium leprae dipstick).
-
ML flow test
(Mycobacterium leprae Flow test).
(Kosasih dan Sri Linuwih, 2010)
G.
Komplikasi
Cacat merupakan
komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat kerusakan fungsi
saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta. Proses
terjadinya cacat kusta dapat dilihat dari gambar dibawah ini.
Gangguan Fungsi saraf Tepi
|
luka
|
Kulit kering atau pecah
|
infeksi
|
Gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak, aliran
darah
|
Tangan kaki kurang rasa
|
luka
|
luka
|
buta
|
infeksi
|
infeksi
|
Tangan kaki lemah / lumpuh
|
Mata lagophthalmos
|
Mutilasi absorbsi tulang
|
Jari bengkak/ kaku
|
Sensorik
|
otonom
|
motorik
|
anestesi
|
Mutilasi Absorbsi tulang
|
kelemahann
|
Kornea mata anestesi reflekk kedip berkurang
|
buta
|
H.
Pengkajian Fokus
1. Boidata
Kaji secara
lengkap tentang umur, penyakit kusta dapat menyerang semua usia, jenis kelamin,
rasio, pria dan wanita 2,3 : 1,0, paling sering terjadi pada daerah dengan
sosial ekonomi yang rendah dan insidensi meningkat pada daerah tropis/
subtropics. Kaji pula secara lengkap jenis pekerjaan klien untuk mengetahui
tigkat sosial ekonomi, resiko trauma pekerjaan, dan kemungkinan kontak
penderita kusta.
2. Keluhan utama
Pasien
sering dating ke tempat pelayanan kesehatan dengan keluhan adanya bercak putih
yang tidak terasa atau dating dengan keluhan kontraktur pada jari- jari.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pada melakukan anamnesa pada pasien, kaji kapan lesi atau kontraktur
tersebut, sudah berapa timbulnya dan bagaimana proses perubahannya, baik warna
kulit maupun keluhan lainnya. Pada beberapa kasus ditemukan keluhan, gatal,
nyeri, panas, atau rasa tebal. Kaji juga apakah klien pernah menjalani
pemeriksaan laboratorium. Ini penting untuk mengetahui apakah klien pernah
menderita penyakit tertentu sebelumnya, pernahkan klien memakai obat kulit yang
dioles atau diminum ? pada beberapa kasus, reaksi beberapa obat juga dapat
menimbulkan perubahanwarna kulit dan reaksi elergi yang lain.perlu juga di
tanyakan Apakah keluhan ini pertama kali di rasakan. Jika sudah pernah,obat apa
yang di minum? Teratur atau tidak.
4. Riwayat penyakt dahulu
Salah satu factor penyebab
penyakit kusta adalah daya tahan tubuh yang menurun. Akibatnya m.leprae dapat
masuk ke dalam tubuh . oleh karena itu perlu di kaji adakah riwayat penyakit
kronis atau penyakit lain yang pernah di derita.
5. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit kusta bukan penyakit keturunan,tetapi jika anggota keluarga
atau tetangga menderita penyakit kusta, resiko tinggi tertular sangat tinggi
terjadi. Perlu di kaji adakah anggota keluarga lain yang menderita atau
memiliki keluan yang sama, baik yang masi hidup maupun sudah meninggal.
6. Riwayat psikososial
Kusta terkenal sebagai penyakit yang menakutkan dan menjijikan. Ini di
sebabkan adanya deformitas atau kecacatan yang di timbulkan. Oleh karena itu
perlu di kaji bagaimna konsep diri klaen
dan respon masyarakat di sekitar klien.
7. Kebiasaan sehari- hari
Pada saat melakukan anamnesis tentang pola kebiasaan sehari-hari perawat
perlu mengkaji setatus gizi pola makan/ nutrisi nklien . hal ini sangat penting
karena factor gizi berkaitan erat dengan siste imun. Apa bila sudah ada
deformitas atau kecacatan, maka aktifitas dan kemampuan klien dalam menjalankan
kegiatan sehari-hari dapat terganggu. Di samping itu,perlu dikaji aktivitas
yang di lakukan klien sehari-hari. Hal ini berkaitan dengan kemungkinan
terjadinya cidera akibat anestasia.
(Loelfia Dwi Rahariyani, 2009)
I.
Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses
inflamasi
2. Gangguan rasa nyaman,
nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan
3. Intoleransi aktivitas yang
berhubungan dengan kelemahan fisik
4. Gangguan konsep diri
(citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh
J.
Intervensi Keperawatan
No
|
Tujuan dan
Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur
sembuh.
Kriteria :
o Menunjukkan regenerasi
jaringan
o Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
|
1. Kaji/catat warna lesi, perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi
sekitar luka.
2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi.
3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah
penyebaran pada jaringan sekitar.
4. Bersihkan lesi dengan sabun pada waktu direndam.
5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan
|
1. Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau
mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi..
2. Menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.
3. Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi
terjadinya komplikasi.
4. Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan
kebersihan lesi..
5. Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan.
|
2.
|
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur hilang.
Kriteria :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang
dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang.
|
1.
Observasi lokasi,
intensitas dan penjalaran nyeri.
2.
Observasi tanda-tanda
vital.
3.
Ajarkan dan anjurkan
melakukan tehnik distraksi dan relaksasi.
4.
Atur posisi senyaman
mungkin.
5.
Kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi.
|
1.
Memberikan informasi
untuk membantu dalam memberikan intervensi.
2.
Untuk mengetahui
perkembangan atau keadaan pasien.
3.
Dapat mengurangi rasa
nyeri.
4.
Posisi yang nyaman dapat
menurunkan rasa nyeri.
5.
Menghilangkan rasa nyeri.
|
3.
|
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan
aktivitas dapat dilakukan.
Kriteria :
Γ Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
Γ Kekuatan otot penuh
|
1.
Pertahankan posisi tubuh
yang nyaman.
2.
Perhatikan sirkulasi,
gerakan, kepekaan pada kulit.
3.
Lakukan latihan rentang
gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian aktif,
4.
Jadwalkan pengobatan dan
aktifitas perawatan untuk memberikan periode istirahat.
5.
Dorong dukungan dan
bantuan keluaraga/orang yang terdekat pada latihan.
|
1. Meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas.
2. Oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas.
3. Mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan
pemeliharaan fungsi otot/sendi.
4. Meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas.
5. Menampilkan keluarga/orang terdekat untuk aktif dalam perawatan pasien dan memberikan terapi
lebih konstan.
|
K.
Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insiden penyakit.
Program multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin,
dan DDS dimulai tahun 1981. Progrm ini bertujuan untuk mengatasi resistensi
despon yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunn angka
putus obat, dan mnegeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
DAFTAR
PUSTAKA
Kosasih. I made Wisnu. Emmy S Sjamsoe – Daili dan Sri Linuwih
Menaldi. 2010. Ilmu Penyakit Kulit Dan
Kelamin Ed. 6. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Mansjoer, Arif. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 3. Media
Aesculapius. Jakarta.
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
dan NANDA NIC NOC. Jil 2. Ed. Revisi. Media Action Publishing. Yogyakarta.
Rahariyani, Loelfia Dwi. 2009. Buku Ajar
Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Integumen. EGC. Jakarta.
Robbins
dan Cotran. 2009. Dasar Patalogis Penyakit. Ed. 7. EGC. Jakarta.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi , Penularan ,
pencegahan, dan Pemberantasannya. Ed. 2. Erlangga. Semarang.
boleh liat pathwaynya soalnya urutannya ancur
BalasHapus